Jokowi, Talaud Dan Kawasan Nusa Utara Dalam Dimensi Geopolitik Kawasan Pasifik

Opini935 Dilihat

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial di buat ramai karena kunjungan Presiden RI ke salah satu kabupaten perbatasan, Kabupaten Talaud. Sebagai Presiden RI yang mengusung visi Nawacita, Jokowi terhitung sudah dua kali menginjakan kaki di Kabupaten Talaud yang kerap di sebut “bumi Porodisa”. Selama sejarah kepresidenan, Jokowi adalah presiden RI yang paling sering mengunjungi “bumi Porodisa”. Oleh karena itu, Sangat di sayangkan jika kunjungan istimewa seperti ini hanya terantuk pada sekedar event temporer. Ada baiknya moment istimewa ini bisa menjadi “panggung emas” sehingga isu perbatasan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat. Ke depan, akan ada keberpihakan kebijakan pemerintah yang bisa mendatangkan manfaat strategis bagi kawasan perbatasan.

Kita berharap isu perbatasan bukan hanya sekedar menjadi “retorika kecap manis” yang hanya terhenti pada wacana kebijakan atau tema diskursus belaka. Isu perbatasan jangan juga hanya menjadi obrolan isu” sekaligus “obralan isu” untuk mendapatkan “kue anggaran” yang renyah di kunyah dalam alokasi APBD/APBN. Isu perbatasan jangan juga hanya di tunggangi sebatas isu polarisasi politik jangka pendek. Dan pada akhirnya, kehilangan visi strategis yang konsekuen berkontribusi bagi penguatan kawasan perbatasan. Belum lagi scenario pengajuan otonomi daerah yang kadang di motori motivasi bagi-bagi kursi kekuasaan di daerah. Akibatnya, tujuan otonomi untuk mendorong kemandirian daerah malah masih jauh dari yang di harapkan.

Saya pribadi sangat mengapresiasi upaya  Bupati dan pemerintah Talaud  memboyong Presiden RI ke “Bumi Porodisa”. Dengan kunjungan istimewa ini, kita berharap mata dan telinga Presiden bisa melihat secara langsung kondisi perbatasan yang penuh disparitas dan marginalisasi. Makna perbatasan jangan lagi di tafsir sebatas posisi geografis tanpa membuka realitas, potensi dan ancaman geopolitik kawasan perbatasan. Jika letak geografis perbatasan terputus dari analisis realitas geopolitiknya, maka kawasan perbatasan yang kerap di sebut “bibir pasifik” masih akan menderita “bibir sumbing”.

Saya tak bermaksud melakukan “body shaming” dengan menyebutkan istilah analogis “bibir sumbing” terhadap kawasan perbatasan. Saya hanya berusaha “menelanjangi” kondisi real dari kawasan perbatasan. Sehingga, skenario urgensi bisa terbangun secara obyektif berdasarkan kondisi real di lapangan. Dan, Beranjak dari realitas urgensi tersebut menjadi acuan fundemantal dalam mendesain kebijakan penguatan kawasan perbatasan yang tepat sasaran.

Provinsi Sulawesi Utara memiliki 15 kabupaten/kota dengan corak fisik wilayah yang tak homogen. Tiga kabupaten dari 15 kabupaten/kota tersebut memiliki corak fisik wilayah berbeda dari kabupaten/kota lainnya. Tiga kabupaten tersebut adalah Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro. Jika kita amati dari sisi kesamaan corak fisik wilayah, maka Kabupaten Talaud tak bisa di pisahkan dari Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Sitaro. Karena ketiga kabupaten tersebut bercorak wilayah kepulauan yang berada pada batas Indonesia di kawasan Pasifik. Ketiga kabupaten berbasis kepulauan ini populer di sebut “kawasan Nusa Utara”, atau di singkat “Wantara”.

Wantara adalah tiga kabupaten berbasis kepulauan yang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang berbasis daratan yang saling terhubung pada bentangan pulau Sulawesi. Secara otomatis, perbedaan corak fisik wilayah ini akan membutuhkan pendekatan pembangunan yang tak sama. Mengapa demikian? Karena basis wilayah kepulauan membutuhkan analisis kebijakan dan dukungan pembiayaan pembangunan ekstra di banding kawasan berbasis daratan yang saling terhubung.

Pada wilayah berbasis daratan yang saling terhubung, mobilisasi logistik pembangunan lebih mudah di lakukan karena tak terkendala dengan masalah interkonektivitas. Aksesibilitas antar wilayah saling terhubung dengan baik. Di tambah lagi, pada daerah daratan yang saling terhubung, konsentrasi infrastruktur publik jauh lebih memadai dan distribusi layanan public bisa menjangkau masyarakat dengan lebih baik. Kondisi tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi di wilayah daratan yang saling terhubung. Akan menjadi masalah ketika daerah-daerah dengan corak fisik wilayah berbeda  tapi kebijakan pembangunan mengalami homogenisasi. Akibatnya, wilayah perbatasan yang berada pada wilayah perifer dan berbasis kepulauan akan sulit berkembang.

Kendala interkonektvitas, jaringan telekomunikasi yang belum optimal, layanan listrik/air bersih yang belum merata dan kondisi disparitas lainnya akan berujung pada marginalisasi pada kawasan perbatasan. Oleh karena itu, melalui petikan tulisan ini, saya ingin memicu sebuah persepsi alternatif dalam memaknai kawasan perbatasan. Saya pikir belum terlambat memantik pemikiran ini pada sisa akhir masa jabatan Jokowi sebagai Presiden RI. Anggap saja iseng-iseng untuk menggelitik para kaum birokrat, cendekiawan, aktivias sosial masyarakat dan politisi dari kawasan perbatasan. Atau, siapa tahu di kemudian hari, pemerintah pusat tak hanya memaknai Wantara sebatas makna geografis, tapi berani menyebrang ke ranah kebijakan berbasis analisis geopolitik Wantara di kawasan Pasifik.

Dengan  demikian, beragam masalah perbatasan bisa terjawab dengan solusi komplementer dan bisa memicu “multiplier effect”, baik dari sisi “inward side” (lokalitas/domestic) dan “outward side” (korelasi dengan negara tetangga). Dan secara bertahap, Kondisi analogis “bibir sumbing” yang saya singgung sebelumnya bisa di sembuhkan. Pada akhirnya, Wantara bisa “bernyanyi merdu” tentang “senandung merah putih” dari perbatasan utara Indonesia. Wantara tak lagi menempati stigma sebagai “halaman belakang” yang termarginalisasi, tetapi menjadi “halaman depan” Indonesia yang berdaulat penuh di kawasan Pasifik.

Kembali lagi tentang kehadiran Jokowi ke Talaud, Dalam fenomena umum kekuasaan politik, biasanya seorang pemimpin negara menjelang akhir masa jabatannya akan terdampak efek “lame duck”. Lame duck merujuk pada menurunnya pengaruh seorang pemimpin menjelang masa akhir jabatannya. Kenyataannya, kita semua dengan mata terbuka mengakui bahwa efek ini tak nampak pada Jokowi menjelang akhir masa jabatannya. Semoga saja saat Jokowi Kembali ke Jakarta, dalam kantong kemejanya ada catatan kritis tentang proyeksi penguatan kawasan perbatasan kelak.

Terlepas dari segala polemik apologis menjelang pilpres 2024, saya melihat bahwa tanda-tanda dari efek lame duck tak nampak pada Jokowi. Ada tiga faktor utama yang menegaskan hal tersebut, yaitu (1) komunikasi Jokowi pada lintas parpol mayoritas cukup cair hingga saat ini, (2) hasil survey kepuasaan publik terhadap Jokowi cukup signifikan, (3) basis relawan pendukung Jokowi tersebar luas bukan cuma pada struktur parpol, tapi menyebar luas di luar struktur parpol yang berbasis akar rumput. Dengan menyorot tiga faktor di tersebut, saya pikir bukan sesuatu yang berlebihan untuk memantik pemikiran ini. Semoga saja, kedatangan Jokowi ke Talaud bisa menyisakan “titipan emas” bagi yang meneruskan estafet kepemimpinan Presiden dari hasil pilpres 2024 nantinya.

WANTARA DAN POTENSI KONFLIK GEOPOLITIK LAUT CHINA SELATAN

Perlu di pahami, dalam letak geografisnya, tiga kabupaten Wantara terletak pada wilayah laut Sulawesi dan berbatasan langsung dengan perairan laut Sulu dan Mindanao Selatan (Philipina). Gugus Wantara membentang seperti “border triangle” (segi tiga perbatasan) pada wilayah laut Sulawesi dan berbatasan dengan Laut Sulu dan Mindanao Selatan. Wilayah laut Sulawesi-Sulu mengandung potensi sekaligus ancaman. Dari sisi ancaman, misalnya konflik batas maritim antar negara tetangga (Indonesia, Philipina dan Malaysia), penyelundupan senjata, penyelundupan narkoba, jalur penyusupan teroris dari Mindanao Selatan, jalur human traficking dan masalah perampokan kapal/penculikan awak kapal (maritim piracy). Tak heran jika kawasan ini di sebut “black water region”.

Meski tergolong “black water region”, wilayah laut Sulawesi-Sulu memiliki nilai potensi ekonomi maritim yang tak bisa di abaikan. Laut Sulu adalah jalur pelayaran paling sibuk setelah selat Malaka (jalur ALKI I). Rata-rata setiap tahun ada sekitar 3.900 kapal yang melalui jalur ini. Setiap tahun, Nilai cargo laut yang melalui jalur ini mencapai US$ 40 milyard (Prastyono, 2005). Itu artinya, penguatan aspek keamanan pada wilayah perairan ini akan secara langsung memicu denyut pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Dan, denyut pertumbuhan ekonomi ini akan memicu “multiplier effect” pada kawasan sekitarnya (termasuk kawasan Nusa Utara).

Secara lambat laun tapi pasti di kemudian hari, posisi geografis Wantara yang berdekatan dengan konflik kepentingan maritim di Pasifik akan berhadapan langsung dengan berbagai dinamika geopolitik kawasan. Pulau Miangas sebagai salah satu pulau terluar Indonesia memiliki jarak yang lebih dekat ke Philipina ketimbang ibu kota Provinsi Sulut, Manado. Jarak tempuh melalui laut dari Pulau Miangas ke Davao City (Philipina) mencapai jarak 83 km, sedangkan jarak tempuh melalui laut dari Pulau Miangas ke Manado mencapai jarak 507,4 km.

Beberapa tahun terakhir, Indonesia cukup di buat “kewalahan”  karena imbas dari perang Rusia-Ukraina yang terjadi di Benua Eropa dan Perang Israel-Palestina di Timur Tengah. Herannya, kita seperti abai dengan “benih konflik” di kawasan Pasifik, yaitu konflik Laut China Selatan. Benih konflik kawasan ini ibarat bom waktu yang bisa kapan saja meledak di kemudian hari ketika ada pemicunya. Episentrum konflik Laut China Selatan ini tepat berada di halaman depan negara kita (di mana letak gugus Wantara bersinggungan pada wilayah perairan konflik tersebut). Laut China Selatan adalah wilayah laut yang memiliki luas kurang lebih 3,5 juta km2. Luas tersebut adalah 39% dari total luas wilayah laut Asia Tenggara (total luas wilayah laut Asia Tenggara mencapai 8,9 juta km2). Laut China Selatan adalah 2,5% dari luas wilayah laut dunia secara keseluruhan. Laut China Selatan membentang dari Selat Malaka hingga ke selat Taiwan, serta di kelilingi oleh negara-negara ASEAN.

Klaim pertama kali di Laut China Selatan pada tahun 1947 yang di lakukan oleh China. Secara sepihak, China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan dengan menerbitkan peta yang memberikan sembilan garis putus-putus di sekitar wilayah laut China Selatan. Hal ini memicu konflik gepolitik antar negara-negara di sekitar laut China Selatan. Pada sebelah utara, Laut China Selatan berbatasan dengan Tiongkok dan Taiwan. Pada sebelah Barat, Laut China Selatan berbatasan dengan Vietnam, Kamboja dan Thailand. Pada sebelah Selatan, Laut China Selatan berbatasan dengan Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Singapura. Pada sebelah Timur, Laut China Selatan berbatasan dengan Philipina. Dan gugus kepulauan Wantara berdekatan dengan Philipina.

KONFLIK BATAS WILAYAH ANTARA PHILIPINA DAN CHINA

Philipina adalah salah satu negara yang paling sering bergesekan dengan China terkait konflik batas wilayah Laut China Selatan. Philipina sendiri adalah sekutu politik dan militer Amerika Serikat dalam kurun waktu yang sekian lama. Dan hari ini kita semua tahu, bahwa poros geopolitik global kian menegang karena konflik kepentingan antara China dan Amerika Serikat. Sangat besar kemungkinan, Laut China Selatan bisa menjadi “battleground” melalui “proxy war” antara China dan Amerika Serikat. Dominasi China di kawasan Asia Pasifik kian mengusik hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.

Philipina adalah salah satu negara yang paling sering bersitegang dengan China karena konflik laut China Selatan. Media Indodefense Forum merilis reportase pada tahun 2023, Pada bulan Oktober 2023 terjadi ketegangan antara Philipina dan China. Terjadi insiden tabrakan dengan dua kapal Philipina di lepas pantai Beting (masih termasuk dalam wilayah Laut China Selatan). Angkatan Laut China memblokade wilayah tersebut dengan lima kapal pasukan penjaga pantai dan delapan kapal pendamping. Blokade China untuk menghalangi masuknya dua kapal Philipina yang membawa pasokan perbekalan dan makanan untuk pasukan Philipina yang di tempatkan di Second Thomas Shoal. China menduga upaya Philipina di tempat tersebut adalah untuk membendung dominasi China di Laut China Selatan.

Karena insiden ini, memantik reaksi keras Amerika Serikat terhadap China yang adalah sekutu Philipina. Melalui media Indodefense forum pada tahun 2023, di laporkan pada bulan Oktober 2023, Amerika meng-ultimatum China, bahwa Amerika siap membela Philipina dari serangan bersenjata dari negara manapun. Amerika bersikap demikian sebagai bentuk komitmen perjanjian pertahanan yang di tanda tangani dengan Philipina sejak tahun 1951.

WANTARA, BENTENG INDONESIA DI SEBELAH TIMUR LAUT CHINA SELATAN

Dari uraian sebelumnya, maka dapat di simpulkan bahwa posisi geografis Wantara yang bersinggungan langsung dengan Laut Sulu dan Philipina Selatan tak bisa di abaikan. Secara otomatis, Wantara adalah  “benteng pertahanan” Indonesia yang mutlak di perkuat karena berada di sebelah Timur dari Laut China Selatan. Sayangnya pada hari ini, Wantara dari segi “regional security” (keamanan wilayah) dan “regional prosperity” (keamanan wilayah) masih banyak terpasung dalam berbagai kondisi disparitas. Daya jelajah untuk patroli laut dan patroli udara di sekitar Wantara masih sangat terbatas. Akibatnya, berbagai aktivitas illegal di kawasan ini masing sering terjadi.

Menurut laporan media indodefense forum pada tahun 2023, pada tahun 2016 telah di sepakati kerja sama antara Indonesia, Malaysia dan Philipina  yang di sebut “Trilateral Cooperative Agreemen” (TCA). Kerja sama TCA meluncurkan patroli maritim gabungan di wilayah Laut Sulawesi-Laut Sulu dari Angkatan bersenjata dari tiga negara. Perjanjian TCA ini bertujuan untuk menyamai keberhasilan kerja sama patroli laut di Selat Malaka. Kerja sama patroli laut di Selat Malaka ini sebut “Mallacca Strait Sea Patrol” (MSSP). Operasi patroli gabungan MSSP di lakukan oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura dan di luncurkan pada tahun 2004.

Operasi patroli laut MSSP di puji karena berhasil menekan aktivitas maritim illegal seperti pembajakan, perampokan, penculikan dan penyelundukan di selat Malaka. Operasi patroli gabungan MSSP sukses membuat selat Malaka menjadi salah satu jalur dagang paling sibuk di kawasan Asia. Dan jalur Selat Malaka ini merupakan bagian dari Alur laut kepulauan Indonesia wilayah I (ALKI I). TCA yang sudah di gagas oleh Indonesia, Malaysia dan Philipina harus di dorong lebih optimal. Agar wilayah laut Sulawesi- Laut Sulu yang termasuk pada alur laut kepulauan Indonesia wilayah II (ALKI II) akan menjadi jalur dagang yang tak kalah potensial dengan Selat Malaka.

Jalur ALKI II melalui jalur Lombok, Selat Makassar dan Laut Sulawesi dan tembus ke wilayah Laut Sulu dan Mindanao Selatan (Philipina). ALKI II menghubungkan jalur pelayaran internasional melalui Selat Makassar dan Laut Sulawesi. ALKI II merupakan rute pelayaran dan perdagangan paling pendek untuk menembus kawasan Indochina. Dengan ditempatkannya Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur yang bersebelahan secara langsung dengan jalur ALKI II, di prediksi ke depan akan terjadi pergeseran aktivitas dari jalur ALKI I (selat Malaka) yang kian padat ke jalur ALKI II.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memberanikan diri menjemput bola dari peluang ini. Pada tanggal 25-26 Okktober 2023, Provinsi Kalimantan Timur mensponsori pelaksanaan “ALKI II Zone Investment Forum” yang di gelar di Balikpapan. Forum tersebut membahas penguatan kawasan ALKI II yang di harapkan bisa ikut memperkuat posisi IKN secara nasional dan internasional. Syarawie (2023) dalam artikel bertajuk “Kaltim Siap Jadi Pintu Masuk ALKI II dan IKN”  yang di rilis oleh situs www.bisnis.com, mengungkap data yang di rilis oleh Kementerian Koordinator Bidang Investasi, bahwa jalur ALKI II memiliki nilai potensi perdagangan mencapai US$ 1,5 Juta per hari, dengan pertumbuhan ekonomi dari tahun 2016 hingga 2019 mencapai angka 5,02% sampai 5,7%.

Yang kita kurang sadari adalah, posisi geografis dari Wantara tepat berada pada paling ujung dari jalur ALKI II yang menghubungan Indonesia ke jalur dagang internasional. ALKI II menghubungkan lalu lintas perairan dan perdagangan internasional dari Afrika ke Asia Tenggara dan Jepang, serta dari Australia ke Singapura, Tiongkok dan Jepang begitu juga sebaliknya. Sulawesi Utara memiliki Pelabuhan Bitung, yang seharusnya sebagai wilayah yang di lalui jalur ALKI II, status Pelabuhan Bitung harusnya berstatus Pelabuhan Samudera agar bisa memetik manfaat ekonomi secara langsung dari jalur ALKI II. Sayangnya, hingga hari ini, status Pelabuhan Bitung malah turun dari Pelabuhan Samudera hanya menjadi Pelabuhan Nusantara.

Untuk masuk ke pasar Singapura dari Bitung, peti kemas dari Pelabuhan Bitung harus melalui Pelabuhan Makassar atau Pelabuhan Surabaya dulu, baru menuju ke Pelabuhan Singapura. Rute menjadi lebih panjang dengan biaya pengapalan menjadi lebih besar. Apalagi, di Pelabuhan transit harus melalui “dwelling time” yang membuat waktu pengapalan menjadi lebih lama dengan biaya lebih mahal. Kondisi ini menjadi sangat ironis, harusnya jalur dagang strategis membuat kita menikmati “untung” tapi yang kita terima malah “buntung”.

Sebaliknya, Wantara memiliki rute terpendek melalui jalur ALKI II ke kawasan jalur dagang internasional. Tapi, manfaat ekonomi dari jalur ALKI II belum bisa di nikmati karena tak memiliki fasilitas pelabuhan Samudera berskala internasional. Karena untuk terbangunnya Pelabuhan Samudera, sebuah wilayah haruslah berstatus provinsi. Sedangkan, untuk mendorong Wantara menjadi Provinsi bagai menarik gerbong tanpa lokomotif. Karena syarat jumlah wilayah menjadi provinsi yang belum cukup, dan juga kendala-kendala kompleks lainnya.

Dari uraian sebelumnya, makin memperjelas posisi Wantara sebagai benteng terdepan Indonesia. Sehingga, kebutuhan untuk “di persenjatai” dari aspek keamanan dan ekonomi kawasan adalah hal mendesak yang tak bisa di abaikan. Karena bercorak wilayah otonomi berbasis kepulauan, penguatan Wantara tak bisa berdiri terpisah karena perbedaan sekat otonomi masing-masing. Penguatan ruang otonomi dari tiga kabupaten Wantara wajib terintegrasi satu dengan lainnya. Di butuhkan sebuah pelembagaan penguatan kawasan ini secara kolektif yang bisa memaksimalkan ruang otonomi dari tiga kabupaten Wantara. Dan juga, pelembagaan penguatan kawasan secara kolektif ini mampu secara jitu mengantisipasi berbagai dinamika geopolitik dan geoekonomi kawasan Pasifik hari ini dan di kemudian hari.

Saya tak bermaksud menggiring narasi ini pada proyeksi pemekaran provinsi Nusa Utara yang telah sekian lama di perjuangkan. Dari rezim ke rezim, wacana Provinsi Nusa Utara hanya menjadi polarisasi isu dan upaya konsolidasi yang masih mogok dengan berbagai kendala sampai saat ini. Saya hanya ingin menguak realitas geopolitik dari letak geografis Wantara di kawasan pasifik. Selanjutnya, melalui kajian strategis terhadap realitas geopolitik Wantara secara “inward looking” dan “outward looking”  berupaya menemukan format paling cocok dalam pelembagaan penguatan Wantara secara strategis dan terintegrasi.

 

 

Tinggalkan Balasan