Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie Tjeng Tjoan yang kemudian hari berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma mendapatkan gelar pahlawan Pahlawan Nasional Tahun 2009.
Meski keturunan Tionghoa, jasa-jasanya terhadap kemerdekaan Indonesia begitu besar. Kecintaannya kepada Republik Indonesia melebihi cinta mereka yang terlahir sebagai pribumi.
“Orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia, apa pun latar belakang suku, ras, etnis, agama adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. Soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela. Saya ingin menunjukkan bahwa semua ras, etnik, dan golongan mempunyai saham dalam pembentukan Republik Indonesia,” tegas John Lie.
John Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 9 Maret 1911 dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio.
Ayahnya merupakan pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai).
Besar di lingkungan para pedagang, dia justru kabur ke Batavia saat remaja karena ingin menjadi pelaut. Mulailah dia berpetualangan belajar navigasi kemudian menjadi klerk mualim III.
Ketika perang dunia kedua tahun 1942 berkecamuk, John bertugas di Khorramshahr, Iran. Dari sanalah dia mendapatkan pendidikan militer.
Saat awal kemerdekaan, dia memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Dia lalu masuk di Angkatan Laut RI dengan pangkat kapten karena kapabelitas dan pengalamannya.
Pengetahuannya di bidang militer dan pelaut membuatnya berhasil membersihkan ranjau Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu saat berada di Pelabuhan Cilacap Jawa Tengah.
Atas jasanya tersebut, pangkat John naik menjadi Mayor.
Karena kepiawaiannya dalam menembus blokade musuh, John kemudian mulai mendapat tugas sebagai pemasok bahan makanan, senjata dan semua kebutuhan pasukan pejuang Indonesia.
Walau taruhannya nyawa, John tanpa ragu bolak-balik di daerah operasinya yang meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi untuk kepentingan bangsa.
Bukan hanya memasok kebutuhan para pejuang di dalam negeri, John juga bertugas sebagai pengaman pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia seperti karet, kelapa sawit dan lainnya.
Komoditas itu menjadi dagangan di luar negeri demi mengisi kas negara yang kala itu masih kosong.
Beberapa kali, John Lie hampir menemui ajalnya ketika tertangkap dan musuh mencurigainya sebagai penyusup.
John Lie memang terkenal sebagai ‘Hantu Selat Malaka’ karena kehebatannya menembus penjagaan musuh.
Dalam sebuah kisah, saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John tertangkap perwira Inggris. Beruntung di pengadilan di Singapura John tak terbukti bersalah lalu bebas.
Pada saat yang lain, John bahkan pernah tertangkap patroli Belanda yang menggunakan pesawat ketika membawa senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatera.
John Lie tetap tenang dan mengatakan, kapalnya sedang kandas. Saat itu dua pasukan yang berada di pesawat sudah mengarahkan senjata ke tubuh John di bawah.
Ajaibnya, pasukan Belanda tersebut tidak jadi menembaknya. Mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga langsung berbalik pergi.
Pernah juga, kapal Belanda menembakkan meriam ke kapal The Outlaw milik John Lie dari jarak sangat dekat.
John hanya pasrah dan coba berdoa. Seketika cuaca buruk melanda perairan kabut dan hujan deras turun. Kapal Belanda kemudian karam tak kuasa mengejar Jhon Lie.
“Roh Kudus membungkus kami,” begitu sebut John Lie dalam sebuah kesaksiannya.
John Lie memang selalu membawa Alkitab ketika menjalankan misi perjuangannya.
Dalam sebuah buku “Guns And Bibles Are Smuggled to Indonesia”, yang terbit pada 26 Oktober 1949 diketahui John dijuluki The Great Smuggler with the Bible.
Usai melakukan banyak misi, John kemudian pensiun pada 1967 dengan dua bintang di pundaknya. John Lie mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Di masa tuanya kegiatan John lebih banyak diisi aksi sosial, termasuk menyantuni para anak telantar dan gelandangan.
Dalam sebuah wawancara sebelum meninggal, John sempat menggambarkan perjuangan gigihnya demi membela Indonesia
“Saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi untuk membantu Republik pada waktu itu mencari devisa. Jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme, karena kita tidak ada dana,” jelasnya.
Saat wafat 27 Agustus 1988, banyak tokoh datang melayat, termasuk Presiden Soeharto.
Bukan hanya itu, ribuan gelandangan, pengemis dan anak-anak telantar yang pernah disantuninya datang memberi penghormatan terakhir.
John Lie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan karena jasa-jasanya terhadap bumi pertiwi. Dia juga mendapatkan Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995.
Jenderal Besar AH Nasution pada 1988, menyebutkan prestasi John Lie tiada taranya di Angkatan Laut.
“John adalah panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi Republik,” kata Nasution.
Pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional pada 2009 berkat usulan sejarawan Asvi Warman Adam dan Eddie Lembong dari Yayasan Nabil, sejak 2003.
Nama John Lie juga abadi menjadi nama kapal perang Republik Indonesia (KRI) John Lie dengan nomor lambung -358.
Biodata:
Nama lahir: Lie Tjeng Tjoan (John Lie)
Lahir : Manado, 9 Maret 1911
Orang tua : Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio.
Istri : Pdt. Margaretha Dharma Angkuw
Meninggal : 27 Agustus 1988
Lama dinas : 1945–1966
Pangkat terakhir : Laksamana Muda TNI (Purnawirawan)
Penghargaan : Pahlawan Nasional Indonesia
sumber: newsantara.id