Johanna Tumbuan Masdani, Pembaca Naskah Sumpah Pemuda

Nama Johana Tumbuan mungkin kurang familiar dibanding dengan tokoh-tokoh sejarah lain asal Sulawesi Utara seperti Maria Walanda Maramis, AA Maramis atau DR Sam Ratulangi. Namun, dialah salah satu dari 10 orang yang membacakan naskah Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928.

Srikandi asal Sulut ini merupakan perempuan kelahiran Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, pada 29 November 1910. Dia menjadi salah satu pelaku sejarah Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 1945.

Awal keterlibatannya dimulai saat Jo-sapaan akrabnya dikirim ke Batavia untuk meneruskan pendidikan setingkat SMP. Ayahnya, Alexander Tumbuan merupakan juragan pemilik perkebunan kelapa.

Sejak kecil, Jo dibesarkan dalam keluarga elite yang mendidik anak mereka secara barat. Sebagai anak perempuan satu-satunya, dia sangat dimanja kedua orang tua, terutama oleh sang ibu, Henriette Mosal.

Menjadi perempuan dari keluarga kaya dan terpandang menuntut Jo untuk jadi orang terpelajar. Setelah menamatkan pendidikan dasar di Amurang, dia dikirim merantau ke Batavia pada 1926. Dimulailah hari-harinya sebagai siswi sekolah menengah Christelijke MULO di Jalan Kwini.

Orang tua Jo memang ingin agar anak gadis satu-satunya itu fokus menuntut ilmu, lalu pulang kampung ke Sulut menjadi perempuan berpendidikan kebanggaan keluarga. Sebagai anak orang berada, Jo dididik untuk tidak perlu memikirkan segala urusan pergerakan, apalagi melawan pemerintah kolonial.

Di tahun pertamanya menuntut ilmu, Jo tidak kekurangan suatu apapun. Setiap hari pergi ke sekolah kemudian pulang ke asrama yang nyaman tanpa membawa beban. Sikapnya mulai berubah ketika itu dia diajak temannya berkunjung ke gedung Indonesisch Clubhuis di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (kemudian menjadi gedung Sumpah Pemuda).

Di tempat itu, Jo bertemu dengan para tokoh pemuda, antara lain Moh Yamin, Dr AK Gani, Mr Asaat dan Masdani. Johanna lalu menjadi anggota Jong Minahasa, kemudian Jong Celebes. Dia juga giat di bidang kepanduan.

 

Di situ pula dia berjumpa dengan Masdani, seorang pemuda Jawa yang sedang menuntut ilmu kedokteran di STOVIA. Ujung-ujungnya, mereka pun berpacaran dan menikah di Jakarta pada 1942. Perlahan tapi pasti, Jos terpengaruh sikap kekasihnya yang simpatik dan revolusioner. Tak butuh waktu lama sampai dia akhirnya mau bergabung ke dalam organisasi kepanduan Indonesische Nationale Padvinders Organisatie (INPO) dan aktif di Jong Minahasa sejak 1927.

Dari Masdani, Jo mulai belajar tentang arti pergerakan. Bersama-sama, mereka sering mengkoordinasi gerakan-gerakan sosial dan terlibat dalam pertemuan pemuda. Berkat ajakan Masdani pula Jo berkesempatan menjadi salah satu dari 10 perempuan pengikrar Sumpah Pemuda.

Setelah menikah dalam usia 40 tahun, sang suami menyuruh Johanna menyelesaikan sekolah di PAMS (Paedagogische Algemene Middlebare School) setingkat SGA. Kemudian, dia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi UI hingga selesai (1961) dalam usia 51 tahun.

Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1953, dia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang RI dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo.

Pada tahun 1958, dia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Soeharto, dia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Dia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 oleh Presiden BJ Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.

Johanna meninggal pada tanggal 13 Mei 2006 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 15 Mei 2006.

sumber: sulut.inews.id

Tinggalkan Balasan