Charles Ch. Taulu: Sang Penggerak Kudeta Merah Putih yang Mengguncang Dunia

Sosok di Balik Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946

 

Nama Charles Choesj Taulu atau yang akrab disapa Chali, adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sulawesi Utara.

Ia dikenal sebagai pemimpin utama dalam Peristiwa Heroik Merah Putih 14 Februari 1946, sebuah aksi heroik di Manado yang melibatkan kudeta militer dan kekuatan rakyat sipil melawan dominasi Belanda pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Peristiwa ini menjadi simbol persatuan dua kekuatan besar, yakni militer dan sipil, dalam merebut kekuasaan dari tangan Belanda.

 

Tidak hanya berdampak di Sulawesi Utara, peristiwa ini juga menarik perhatian dunia setelah diberitakan oleh Radio Brisbane, Australia, yang kemudian disiarkan ke Makassar, Yogyakarta, San Francisco (AS), dan Belanda.

Chali Taulu adalah simbol dari semangat nasionalisme yang tak tergoyahkan.

Meski akhirnya ditangkap dan dipenjara, semangat juangnya telah membuka mata dunia bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya milik Jawa atau Sumatra, tetapi juga milik seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Utara.

 

Latar Belakang dan Kehidupan Awal

 

Chali Taulu lahir di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, pada 28 Mei 1909.

Ia merupakan anak kedua dari pasangan Agustinus Rawis Taulu (asal Kawangkoan) dan Maria Waney (asal Rumoong, Tareran, Minahasa Selatan).

 

Chali memiliki 13 saudara kandung, beberapa di antaranya lahir dan wafat di Magelang, Jawa Tengah, tempat keluarga ini sempat tinggal.

Pada tahun 1914, saat Chali masih kecil, keluarganya pindah ke Jawa setelah ayahnya, AR Taulu, diterima sebagai tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) di Manado.

 

AR Taulu kemudian dikirim ke Yogyakarta dan akhirnya ditempatkan di Magelang, sebuah kota yang dikenal sebagai pusat pelatihan militer Belanda melalui Sekolah Kader Militer.

Chali Taulu mengawali pendidikan di Lagere School (setara SD) selama 7 tahun dengan pengantar bahasa Belanda.

Setelah lulus, ia melanjutkan ke MULO (setara SMP) selama 4 tahun. Meskipun bersekolah di sekolah Belanda, Chali merasakan adanya perlakuan diskriminatif terhadap siswa pribumi, yang kemudian membentuk kesadaran nasionalisme dalam dirinya.

Setelah lulus MULO, Chali melanjutkan ke Sekolah Kader Militer di Magelang pada tahun 1928 dan lulus dengan pangkat Sersan. Inilah awal perjalanannya sebagai prajurit KNIL, sebuah pengalaman yang kelak mengasah semangat perjuangan dan strateginya dalam Peristiwa Merah Putih 1946.

 

Perjalanan Militer: Dari Watampone hingga Manado

 

Chali Taulu ditempatkan di beberapa wilayah sebagai prajurit KNIL, termasuk Watampone (Sulawesi Selatan) pada 1939-1940. Ia bertugas di wilayah ini hingga pecahnya Perang Dunia II dan penjajahan Jepang.

Setelah Jepang menguasai Indonesia, semua tentara Belanda, termasuk tentara pribumi di KNIL, ditawan oleh Jepang.

Chali dan keluarganya dipindahkan ke Makassar, di mana mereka tinggal sebagai tawanan hingga sekitar 1942-1943, sebelum akhirnya dibebaskan.

Dari Makassar, mereka kembali ke Manado menggunakan kapal Dai Maru. Di Manado, mereka menetap di Pasar 9 Kampung Tomohon Titiwungen Dalam.

Selama masa penjajahan Jepang, Chali bekerja di Kantor Pekerjaan Umum Jepang di Tikala, Manado.

 

Di sinilah ia bertemu rekan-rekannya sesama mantan tentara KNIL pribumi, seperti Papilaya, Picauly, dan Frans Wangko Sumanti.

Bersama mereka, Chali mulai mengorganisir perlawanan secara rahasia terhadap Jepang.

 

Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946

 

Setelah Jepang kalah dan Belanda kembali mencoba menguasai Indonesia, Chali Taulu menggalang dukungan dari kalangan militer dan sipil.

Ia mulai mengorganisir perlawanan bersama Sersan SD Wuisan, yang bertugas sebagai Kepala Gudang Senjata dan Peluru di Tangsi Teling.

Chali Taulu juga menjalin kerja sama dengan tokoh sipil, yaitu B.W. Lapian, seorang tokoh nasionalis terkemuka di Manado.

 

Bersama-sama, mereka mempersiapkan rencana kudeta militer yang bertujuan untuk merebut kekuasaan Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih di Manado.

Pada 14 Februari 1946, aksi dimulai. Pasukan yang dipimpin Mambi Runtukahu berhasil merebut Tangsi Teling tanpa perlawanan dan tanpa pertumpahan darah.

 

Para pejuang juga menangkap sejumlah perwira Belanda, seperti Sersan Mayor Wisjzier dan Kapten Bloom, serta membebaskan tahanan sipil dan pejuang.

Pasukan kemudian bergerak menguasai sejumlah daerah strategis di Sulawesi Utara, termasuk Bitung, Tomohon, Tondano, Bolaang Mongondow, hingga Gorontalo. Peristiwa ini menjadi simbol kebangkitan nasionalisme di Indonesia Timur dan memperkuat legitimasi Proklamasi 17 Agustus 1945.

 

Dampak dan Perhatian Dunia Internasional

Aksi ini diliput oleh Radio Brisbane di Australia, setelah wartawan radio Mr. Robert Ensleih (markonis dari kapal SS Luna) menerima berita tersebut. Siaran ini diteruskan ke Makassar, Yogyakarta, San Francisco, dan Belanda.

Berita ini mengguncang Belanda dan sekutu internasional, terutama karena melibatkan tahanan perang Jepang.

 

Presiden Soekarno di Yogyakarta turut memberikan perhatian atas peristiwa ini, sementara surat kabar di Jakarta menjadikannya berita utama.

Sayangnya, perlawanan Chali dan kawan-kawan tidak bertahan lama. Dengan bantuan Sekutu, Belanda melancarkan operasi militer balasan. Chali Taulu, SD Wuisan, dan para pejuang lainnya akhirnya ditangkap dan dipenjara.

 

Warisan dan Pengaruh Peristiwa Merah Putih

Meskipun akhirnya ditumpas, Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 membuktikan kepada dunia bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan hanya terjadi di Jawa dan Sumatra, tetapi juga di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi Utara. Peristiwa ini juga membantah klaim bahwa Minahasa adalah “provinsi ke-12 Belanda”.

Untuk pertama kalinya, dua kekuatan besar yaitu militer dan sipil bersatu dalam satu gerakan. Peristiwa ini menjadi simbol persatuan nasional dan mempertegas bahwa kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipandang secara parsial.

 

Ch. Ch. Taulu, Simbol Perlawanan Indonesia Timur

Ch. Ch. Taulu adalah tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan di Sulawesi Utara. Ia tidak hanya berperan sebagai pemimpin Peristiwa Heroik Merah Putih 14 Februari 1946, tetapi juga sebagai simbol perlawanan rakyat Indonesia Timur terhadap dominasi kolonial Belanda.

Semangat juang Chali Taulu telah meninggalkan warisan besar. Peristiwa Merah Putih menjadi pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh seluruh wilayah Nusantara.

 

Chali Taulu tidak hanya diingat sebagai pemimpin militer yang cerdas dan strategis, tetapi juga sebagai pahlawan nasional yang membangkitkan nasionalisme di Indonesia Timur.

Peristiwa ini membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan sekadar pengumuman di Jakarta, melainkan sebuah cita-cita yang diperjuangkan di seluruh Nusantara, termasuk oleh Ch. Ch. Taulu dan rakyat Sulawesi Utara.

Tinggalkan Balasan