Bernard Wilhelm Lapian, atau yang lebih dikenal dengan BW Lapian, adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Ia berjuang melawan kolonialisme sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, Jepang, hingga Indonesia merdeka.
Selain aktif dalam pergerakan fisik, BW Lapian juga dikenal sebagai tokoh pers yang menyuarakan semangat nasionalisme melalui media.
Kehidupan Awal dan Pendidikan
BW Lapian lahir di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 30 Juni 1892.
Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) Amurang dan mengikuti kursus-kursus setingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yang setara dengan sekolah menengah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, BW Lapian pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dan mulai bekerja di sana.
Di samping pekerjaannya, ia juga menulis di surat kabar Pangkal Kemadjoean.
Melalui tulisan-tulisannya, BW Lapian menunjukkan sikap nasionalis yang kuat. Ia berupaya membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia untuk melawan kolonialisme dan memperjuangkan kebebasan dari kekuasaan asing.
Peran di Dunia Pers
Pada tahun 1924, BW Lapian mendirikan surat kabar sendiri bernama Fadjar Kemadjoean, yang terbit hingga tahun 1928.
Surat kabar ini menyoroti isu-isu kesejahteraan rakyat, termasuk masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia pada masa itu.
Semangat nasionalisme BW Lapian semakin terlihat ketika ia mendirikan surat kabar lain bernama Semangat Hidoep pada tahun 1940.
Melalui Semangat Hidoep, BW Lapian secara tegas melawan propaganda kolonial Belanda, yang saat itu berusaha menarik kesetiaan rakyat Minahasa kepada mereka.
Tulisan-tulisannya bertujuan mengobarkan semangat perlawanan rakyat Minahasa terhadap Belanda.
Perjuangan Melawan Penjajah
Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun, Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan dukungan pasukan Sekutu.
Di Sulawesi Utara, semangat perlawanan terhadap Belanda tetap berkobar.
Pada 14 Februari 1946, pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang terdiri dari prajurit pribumi, bersama para pemuda lokal, menangkap para perwira Belanda di Manado.
Dua hari kemudian, tepatnya pada 16 Februari 1946, BW Lapian ditunjuk sebagai Residen Manado sekaligus pemimpin pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Utara.
Namun, kedudukannya sebagai pemimpin tidak bertahan lama. Pada Maret 1946, BW Lapian ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Manado.
Setahun kemudian, ia dipindahkan ke Penjara Cipinang, Jakarta.
Perjuangan BW Lapian di balik jeruji besi akhirnya berakhir setelah ia dibebaskan pada 20 Desember 1949, tepat setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Kiprah Setelah Kemerdekaan
Setelah dibebaskan dari penjara, BW Lapian kembali mengabdi kepada bangsa.
Pada 17 Agustus 1950, ia diangkat sebagai Pejabat Gubernur Sulawesi.
Selama masa jabatannya, BW Lapian berfokus pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah.
Salah satu kontribusi pentingnya adalah membuka dan mengembangkan wilayah Dumoga sebagai kawasan pemukiman dan pertanian.
Ia juga membangun jalur transportasi yang menghubungkan Kotamobagu dengan wilayah Molibagu, yang berdampak besar pada pengembangan perekonomian masyarakat setempat.
Jabatannya sebagai Gubernur Sulawesi berakhir pada 1 Juli 1951.
Penghargaan dan Pengakuan
Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengabdi sebagai pejabat pemerintahan, BW Lapian menerima sejumlah penghargaan.
Pada tahun 1958, ia dianugerahi Bintang Gerilya.
Kemudian, pada tahun 1976, pemerintah memberikan penghargaan Bintang Mahaputra Pratama kepadanya.
BW Lapian meninggal dunia pada 5 April 1977 di Jakarta. Jasadnya dimakamkan dengan penghormatan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Sebagai pengakuan atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada BW Lapian pada 5 November 2015.
BW Lapian bukan hanya seorang pemimpin dan pejuang, tetapi juga seorang jurnalis yang menggunakan media sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme.
Perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, baik melalui tulisan maupun tindakan nyata, menjadikannya sosok yang dihormati dan diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Jasa-jasanya akan terus dikenang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.