Asal Usul Minahasa Dan Penduduknya

Artikel1339 Dilihat

Cerita ini berawal dari dua artikel yang saya temukan di De Indische Courant (Selasa, 23 Februari 1928) dan Twentsch Dagblad (Jumat, 7 Januari 1927). Saya menggabungkan kisah tersebut dengan informasi lainnya.

 

Meski sejarah kuno Minahasa agak misterius, tradisi setempat menyebutkan bahwa pada zaman dahulu Minahasa, Sangir, Talaud, dan Filipina merupakan satu wilayah yang luas. Seperti banyak tempat lain, kisah tentang banjir besar pun bertahan dalam ingatan mereka.

Konon, sebuah letusan gunung berapi dahsyat diikuti oleh banjir besar yang menghancurkan hampir seluruh daratan, menenggelamkan hampir semua makhluk hidup.

 

Air Bah Alkitabiah

 

Hujan lebat menggenangi seluruh negeri, dengan hanya puncak-puncak gunung tertinggi yang tersisa di atas permukaan air, seperti Lokon, Sapoeton, dan Klabat.

Setelah air surut, wilayah-wilayah tinggi itu terpisah oleh laut dalam, dan pulau-pulau baru mulai muncul.

 

Setelah banjir surut, seorang lelaki yang selamat bersama keluarganya membagikan tanah kepada anak-anak dan cucu-cicitnya, dengan pesan agar mereka menjaga batas-batas wilayah yang telah ditentukan.

 

Watu Pinawetengan

 

Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, dan pertikaian antara dua keluarga yang bersaing untuk menduduki wilayah yang sama tidak terhindarkan.

Akhirnya, para tetua keluarga memutuskan untuk mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini.

Mereka berkumpul di Awuan (utara Tonderukan), di sekitar sebuah batu besar berukuran 2 x 4 meter.

Batu tersebut masih ada hingga kini dan disebut Watu Pinawetengan, yang berarti “Batu Pembelah”.

 

Pertemuan ini dikenal sebagai *Pinawetengan u-nuwu* (Pembagian bahasa) atau *Pinawetengan um-posan* (Pembagian ritual). Di atas batu ini terdapat berbagai simbol yang maknanya kini telah hilang, yang diduga menggambarkan pembagian wilayah.

 

Pembagian ini akhirnya membentuk tiga kelompok besar: Tonsea, Tombulu, dan Tontemboan, yang berasal dari tiga kelompok Makatelu-pitu, Makarua-siouw, dan Pasiowan-Telu.

Wilayah mereka dibagi menjadi Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas, yang menjadi pusat pemerintahan masing-masing suku (puak), yang kemudian dikenal dengan nama walak.

 

Meskipun sebagian besar penduduk Minahasa akhirnya memeluk agama Kristen, peristiwa tertentu menunjukkan bahwa orang-orang masih menganggap batu ini memiliki kekuatan magis.

Untuk menyembuhkan orang sakit atau mewujudkan keinginan, persembahan berupa makanan dan bunga masih sering diberikan di dekat batu tersebut.

Konon, seorang Minahasa yang tidak percaya dan dengan sombong menggoreskan namanya di batu itu, meninggal beberapa hari kemudian karena dihukum oleh roh leluhurnya yang marah.

 

MINA ESA

 

Orang Minahasa sering berperang dengan penduduk Mongondou.

Berkali-kali, gerombolan penyerbu datang untuk merampok dan membunuh, semakin memperkuat kekuatan mereka dan berusaha menundukkan seluruh penduduk.

Namun, orang Minahasa akhirnya bangkit melawan.

 

Seorang pemimpin muncul untuk menyatukan suku-suku yang terpecah. Ia memanggil mereka berkumpul di batu keramat Watu Pinawetengan.

Pemimpin ini dikenal dengan nama Munt-Untu, Pemimpin Tertinggi.

Mereka bersatu dan memulai perlawanan melawan bangsa Mongondou, yang akhirnya mundur ke Likoepang dan Poigar.

 

Setelah perlawanan tersebut, kesepakatan antara suku-suku berbeda terbentuk, yang dikenal dengan nama *Mina Esa*, yang berarti “Bersatu”. Nama ini kemudian berkembang menjadi Minahasa, yang digunakan hingga sekarang.

 

Peningkatan Populasi Baru

 

Kemudian, kelompok-kelompok baru mulai tiba di Semenanjung Pulisan.

Karena seringnya konflik di wilayah tersebut, mereka pun pindah ke pedalaman dan menetap di sekitar danau besar, yang kini dikenal dengan nama Danau Tondano.

 

Mereka disebut Tondano, Toudano, atau Toulour, yang berarti “Orang Danau”.

 

Pada tahun-tahun berikutnya, beberapa kelompok lain datang ke Minahasa:

– Orang-orang dari Pulau Maju dan Tidore tiba di Atep, nenek moyang suku Tonsawang.

– Orang-orang dari Teluk Tomori menjadi nenek moyang subetnis Pasam-bangko (Ratahan dan Pasan).

– Orang-orang dari Bolaang Mongondou menjadi nenek moyang suku Ponosakan (Belang).

– Masyarakat dari kepulauan Bacan dan Sangihe yang mendiami Lembeh, Talisei, Manado Tua, Bunaken, dan Mantehage, merupakan nenek moyang Babontehu (Bajo).

Mereka mendirikan kerajaan Manado, yang berakhir pada tahun 1670, dan kemudian menjadi walak Manado.

– Orang Toli-toli yang tiba di Panimuran pada awal abad ke-18, lalu menyebar ke Bolaang Mongondou dan akhirnya ke Malalayang, nenek moyang subetnis Bantik.

 

Pengayauan

 

Pada awal abad ke-19, kebiasaan pengayauan mulai muncul.

Orang-orang Minahasa percaya bahwa roh orang yang meninggal akan hidup kembali di akhirat, dan mereka memandang pembunuhan musuh sebagai cara untuk membantu roh-roh ini.

Jiwa-jiwa yang dipenggal akan menjadi budak bagi orang yang meninggal.

 

Sering kali, para pria pergi pada malam hari untuk menyerang rumah musuh. Untuk melindungi diri dari serangan, rumah-rumah dibangun di atas panggung tinggi, dengan tangga kayu sebagai akses.

 

Sebagian besar rumah ini masih dibangun di atas tumpukan kayu atau batu, meskipun kebiasaan ini mulai ditinggalkan.

Ada juga suku-suku yang membangun rumah di atas air, seperti masyarakat Tondano.

 

Di sekitar danau, rumah mereka dibangun di atas tiang kayu keras yang dahulu sangat tinggi, namun kini hanya tersisa sekitar satu meter.

Orang Tondano sendiri dipercaya bukan asli Minahasa, melainkan berasal dari Bolaang Mongondou, yang diizinkan menetap di sekitar danau dengan syarat hidup di atas air, bukan di atas tanah.

 

Kabasaran

 

Sebagian besar penduduk Minahasa telah memeluk agama Kristen sejak awal abad ke-19. Namun, beberapa kebiasaan lama tetap dilestarikan.

Setiap suku memiliki kepala suku, yang bertugas mengurus segala urusan keluarga, termasuk sebagai panglima perang, pemimpin pertanian, dan pendeta yang juga menyembuhkan dengan cara tradisional.

 

Panglima perang juga memimpin tarian perang yang dilakukan sebelum berangkat berperang.

 

Kini, pada acara-acara resmi, seperti kedatangan atau keberangkatan Residen, tarian Kabasaran yang megah kadang-kadang masih dipertunjukkan.

Para penari mengenakan pakaian unik dan hiasan kepala berupa bulu.

Tarian dimulai dengan tenang, namun semakin intens hingga mencapai puncaknya dengan lari liar dan teriakan menggugah.

 

Pada suatu waktu di dekat Tondano, dua pemuda bertengkar akibat seorang wanita.

Dalam perkelahian itu, seorang kekasih terbunuh.

Ketika ia terbaring sekarat, sang pembunuh menikamnya sekali lagi di jantung dan meminum darahnya, menganggapnya sebagai cara untuk menundukkan jiwa musuhnya.

 

Mapalus

 

Salah satu tradisi lama yang baik adalah *mapalus*. Ketika panen tiba, pemilik sawah mengunjungi rumah-rumah teman dan kenalan, mengundang mereka untuk membantu.

Semua orang memiliki kewajiban untuk membantu, dan bersama-sama mereka bekerja di ladang sambil bernyanyi.

Di saat panen raya, makanan lezat dan saguer (tuak) disediakan.

Tidak ada bayaran, karena semua orang saling membantu, dengan setiap orang bergiliran memberi bantuan.

 

Kadang-kadang, sebelum padi matang, sekelompok pemuda dan pemudi akan saling membantu memetik padi sebagai bagian dari *mapalus*, yang juga sering berhubungan dengan ikrar pernikahan.

Oleh karena itu, banyak pernikahan dilakukan setelah panen.

 

Di sekitar Tondano dan Tonsea, lagu-lagu panen yang sudah lama masih dinyanyikan oleh mereka yang kembali dari ladang.

Sayangnya, lagu-lagu lama ini, yang sarat puisi, semakin terlupakan oleh generasi muda.

Penulis Roderick C Wahr

Gambar Tondano 1822

Tinggalkan Balasan