6 Persoalan Serius di Sulawesi Utara

Opini400 Dilihat

1. Degradasi Demokrasi.

Kualitas berdemokrasi yang diwariskan leluhur di Sulawesi Utara, lebih khusus Minahasa telah merosot di level buruk. Feodalisme baru yang belakangan hadir atas nama reformasi ternyata telah menjadi momentum terbangun politik dinasty dan hegemoni kekuasaan. Demokrasi hanyalah umbul-umbul di pelataran politik. Pemilu hanyalah sarana sarat aturan yang justru melemahkan demokrasi. Kehadiran pemimpin tidak lagi berproses bottom up tetapi top down.
Contoh konkrit, pemilihan hukum tua yang dulu sangat demokratis kini “diatur” oleh pemerintah kabupaten. Padahal pemilihan hukum tua adalah warisan demokrasi yang telah hadir sebelum Republik ini ada.
Kedaulatan rakyat dilemahkan, ini menjadi berbahaya di masa akan datang.

2. Penguasaan Tanah.

Tanah sebagai faktor produksi utama perekonomian rakyat, tidak pernah bertambah (kecuali terjadi reklamasi). Sementara kebutuhan perebutan atau penguasaan akan tanah terus bertambah. Yang kuat akan semakin kuat merebut tanah. Penguasaan tanah secara berlebihan oleh kelompok penguasa dan pengusaha kini semakin sulit dibendung. Lahan-lahan produktif di pesisir dan pedalaman kini tak lagi dikuasai rakyat petani.
Laporan Bappeda menyebutkan di tahun 2011 – 2012 saja, kepemilikan tanah oleh keluarga petani hanya 0,4 Ha/KK petani. Angka itu dipastikan terus menurun, kini angka itu diperkirakan hanya sekitar 0,3 Ha/KK petani. Akibatnya, so pasti berdampak langsung pada ekonomi pertanian. Persoalan penguasaan tanah oleh kelompok penguasa dan pengusaha akan terus berlangsung karena fenomena yang kuat menguasai yang lemah tetap berlangsung.
Selain melemahkan ekonomi rakyat, penguasaan tanah juga akan berakibat kerawanan sosial budaya. Ekonomi pertanian Sulawesi Utara akan runtuh karena tanah sebagai faktor produksi utama tak lagi dikuasai mayoritas petani. Sementara tanah produktif menjadi lahan tidur.

3. Kualitas lingkungan.

Merosotnya kualitas lingkungan akibat rusaknya ekosistem di Sulawesi Utara menjadi ancaman serius di masa akan datang. Fakta sudah menunjukan kerusakan lingkungan itu sudah terjadi di semua kabupaten kota. Semua kabupaten/kota sudah pernah diterjang banjir bandang. Beberapa kabupaten kota yang dahulu dianggap “perawan” kini sudah diterjang banjir bandang. Boltim, Bolsel, Bolmut, Mitra, Sangihe sudah dikejutkan dengan banjir bandang.
Kerusakan ekosistem ini tentu saja berakibat tekanan pada kehidupan masyarakat dan masa depan generasi baru.

4. Tenaga Kerja dan Lost Generation.

Saat ada gelombang peralihan ketenagakerjaan. Seiring melemahnya sektor pertanian karena penguasaan tanah dikuti dengan berkurangnya angkatan kerja baru pertanian.

Angkatan kerja baru dalam 30 tahun terakhir ini bergeser dari sektor tradisional pertanian ke sektor jasa yang sangat kompetitif. Akibatnya ada generasi baru yang “tersesat”, lost generation. Angkatan kerja baru tidak saja menganggur tetapi tersesat tak bisa berkompetisi. Sektor industri yang sebenarnya diharapkan bisa menjemput generasi baru tak kunjung bisa menyerap tenaga kerja baru. Beberapa kawasan industri (KEK Bitung, KEK Likupang) sejauh ini baru sebatas mimpi atau NATO. Angkatan kerja baru Sulawesi Utara banyak yang memilih meninggalkan Sulawesi Utara. Sektor formal pemerintahan dan BUMN tak bisa menampung angkatan kerja baru lokal, karena proses seleksi yang sarat kompetisi. Lost generation ini akan terus bertambah jika gerbang lapangan kerja tidak segera bertambah.

5. Pertambangan.

Sektor pertambangan di Sulawesi Utara menjadi kerawanan yang cukup serius. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang yang tak terkontrol akan sangat serius dimasa datang. Racun-racun limbah tambang sejauh ini tidak terdeteksi. Generasi yang akan datang bisa menemukan dan merasakan akibat menyebarnya racun limbah tambang yang menyebar hampir di semua kabupaten di Sulawesi Utara. Tambang liar dengan sistem open pit kini marak di Mitra, Boltim, dan Bolsel Bolmong, dan Minut.
Mafia tambang emas di Sulawesi Utara dalam 10 tahun terakhir semakin tak terkendali karena tak tersentuh oleh kekuasaan.

6. Migrasi dan Kependudukan.

Liberalisasi ekonomi dan perkembangan IPTEK menjadi peluang sekaligus tantangan. Tujuh miliar lebih manusia di bumi, kini bergerak bebas kemana saja dan dapat tinggal di mana saja. Negara negara kini seperti tanpa batas. Globalisasi dan nasionalisasi telah memungkinkan kita mengabaikan batas teritory. Kita tidak bisa menolak migrasi, kita hanya bisa berkompetisi. Kesiapan berkompetisi menjadi syarat. Jika generasi baru tak siap berkompetisi, maka generasi baru kita akan menonton. Kecemburuan sosial dapat memicu kerawanan. Kata kuncinya adalah Pendidikan, Keahlian, dan Etos Kerja Kompetitif. Jika tiga hal itu tak dimiliki, maka penduduk lokal akan menjadi buruhnya kaum pendatang.

Makin lebarnya kesenjangan penduduk miskin dan kaya juga menjadi ancaman sosial budaya di masa datang……

Maukah kita pikirkan dan sikapi persoalan – persoalan serius di atas?

Tinggalkan Balasan